Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI JAMBI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
6/Pid.Pra/2023/PN Jmb MARSINAH KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR JAMBI TIMUR Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 27 Apr. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 6/Pid.Pra/2023/PN Jmb
Tanggal Surat Kamis, 27 Apr. 2023
Nomor Surat 01/EMP/P/IV/2023
Pemohon
NoNama
1MARSINAH
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR JAMBI TIMUR
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Nomor            :     01/EMP/P/IV/2023

Perihal           :     Permohonan Praperadilan atas Nama Marsinah

Lampiran       :     Berkas

Kepada Yth   :     KETUA PENGADILAN NEGERI JAMBI

                              Jl. Jend A. Yani No. 16 Telanaipura Kec. Telanaipura, Kota Jambi

                              Jambi, 36122

 

 

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

EXTRIX MANGKEPRIYANTO, S.H. dan KEMAS MUHAMMAD SHOLIHIN, S.H. adalah para Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor hukum Extrix Mangkepriyanto, S.H. dan Rekan yang beralamatkan di Jl. Lingkar Selatan Perumahan Mutiara Selatan Blok K 27 Kenali Asam Bawah, Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Telp/WA 0815-2276-9300 atau 0812-7116-2686.

Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 06 April 2023 bertindak sendiri untuk dan atas nama Marsinah selanjutnya disebut sebagai PEMOHON 

M E L A W A N

KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR JAMBI TIMUR yang beralamat di Jl. Prabu Siliwangi No 20, Kec. Jambi Timur, Tj. Sari, Kec. Jambi Tim., Kota Jambi, Jambi 36263selanjutnya disebut sebagai TERMOHON 

untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan Pemohon sebagai tersangka dalam perkara Penggelapan dan penipuan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 372 atau Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Penyidik di  Kepolisian Sektor Jambi Timur.

 

PERNYATAAN PEMOHON

Due process of law merupakan perwujudan dari sistem peradilan pidana yang benar-benar menjamin, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia. Karena itu, Due procces menghasilkan prosedur dan subtansi perlindungan hukum terhadap individu. Piagam Magna Carta dipandang sebagai cikal bakal Due Process of Law walaupun dalam piagam ini tidak dengan tegas di sebuatkan Due Proces Of Law. Sebagaimana kita pahami dari catatan sejarah bahwa due process of law ini diadopsi sebagai perjanjian pribadi antara Raja John dan para baron yang melakukan pemberontakan pada tahun 1215. Keadaan inilah yang menimbulkan pengertian bahwa Magna Carta adalah simbol dari perjuangan melawan kekuasaan sewenang-wenang, yang pada awalnya diperjuangkan oleh raja-raja kecil, dan merupakan simbol kekal perlawanan yang sukses dalam melawan kekuatan kerajaan.

 

Dengan mengutip pendapat Simon Schama dalam bukunya A History of Britain, Andrew Young dalam tulisannya “The Forgotten Spirit of the Magna Carta” menyatakan bahwa Magna Carta, "bukan akta kelahiran kebebasan" dalam tradisi retoris dari Deklarasi Kemerdekaan. Namun, itu "adalah sertifikat kematian despotisme". Ini, untuk pertama kalinya, Raja Inggris ditempatkan di bawah aturan hukum. Misalnya, menghilangkan kekuasaan raja untuk menangkap rakyatnya sewenang-wenang, sekarang, Raja harus mengakui habeas corpus, harus mengakui hak manusia untuk untuk mendapatkan proses hukum dalam masalah penahanan.

 

Magna Carta sebagai perjanjian bukan hanya memberikan perlindungan kepada bangsawan, tetapi kepada semua orang, dimana dinyatakan bahwa semua orang tidak dapat dipenjarakan atau diasingkan, direbut kebebasannya tidak dengan proses hukum atau atas nama hukum, kecuali dengan proses hukum yang dilakukan secara adil berdasarkan hukum yang berlaku. Berdasarkan proses peradilan biasa dengan diberikan kepadanya hak untuk membela diri dan  menyampaikan bukti sesuai dengan prosedur hukum. Dengan demikian maka Magna Carta adalah kesepakatan yang luar biasa dalam membatasi kekuasaan penguasa termasuk negara dalam satu proses hukum, sebab negara bukanlah hukum, meskipun negara dapat membuat dan menciptakan hukum.

 

Tentu bagi kita, bukan hanya persoalan melawan kekuasaan yang sewenang-
wenang itu yang perlu disampaikan kepada Ketua Pengandilan Negeri Jambi cq. Yang Mulia Hakim yang mengadili Praperadilan  a quo. Namun yang juga tidak kalah perlu disampaikan adalah bahwa proses hukum itu harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. Prosedur itu adalah cara yang benar dalam satu proses. Sehingga kalau dibicarakan perlindungan hukum dalam satu proses
hukum atau yang dikenal secara luas sebagai Hukum Acara, maka perlindungan
itu tidak bermakna sebagai pedoman atau cara yang sah untuk melindungi pelaku
kejahatan untuk menghindar dari tangan hukum.

Secara ideal Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka,
terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh
hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga negara dan
penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah kesetaraan
perlakuan antara yang kaya dan yang miskin. Inilah yang dianut oleh Hukum Acara
Pidana Indonesia, penyidikan adalah kegaiatan mengumpulkan bukti yang akan
membuat terang perkara sehingga kemudian dapat menemukan tersangka.
Sehingga proses penetapan tersangka itu bukanlah penetapan kepentingan, karena
penetapan tersangka berdasarkan kepentingan, niscaya akan sangat merugikan orang
kebanyakan atau orang yang tidak mampu membela diri secara baik dengan cara
yang baik dan benar.

 

Sebagaimana dipahami hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur
dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh negara dalam proses
penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan dengan motode yang baku untuk
menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum
berlangsung. Pada hakikatnya hukum acara pidana adalah aturan hukum untuk
melindungi warga negara dari perlakuan sewenang-wenang oleh aparatur penegak
hukum karena diduga melakukan perbuatan pidana. Secara khusus, hukum acara
pidana dirancang untuk melindungi dan menegakkan hak-hak konstitusional
tersangka dan terdakwa, pada saat dimulai penyelidikan, penyidikan, proses
peradilan sampai pelaksanaan hukuman atau eksekusi. Karena senyatanya hukum
acara itu menerapkan standar proses hukum yang sesuai dengan rasa keadilan dan keadilan itu sendiri. Dalam negara yang menganut demokrasi, hukum tidak
digunakan untuk memberangus keadilan yang seharusnya ditegakkan dan
dipelihara, atau untuk membatasi dan menghancurkan hak-hak yang seharusnya
dijunjung tinggi. Hukum tidak boleh digunakan untuk melakukan kekejian, sehingga
perampasan seperti menjadi hak, serta penegakan kebenaran diangap sebagai
kejahatan. Hukum acara pidana justru lahir sebagai bentuk pengejawantahan
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menjamin dan melindungi hak asasi manusia
sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan-
ketentuan dalam hukum acara pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan
prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan terhadap hak asasi
manusia, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa pembatasan
tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain.

 

Dengan kata lain, Hukum Acara itu bukan untuk memanjakan orang yang
diduga bersalah, tetapi adalah untuk melindungi orang tidak bersalah dari
ancaman hukuman, sebab perlindungan terhadap orang diduga bersalah atau
terdakwa yang menjalani proses hukum pada hakikatnya sebagai kebajikan
pendekatan dalam proses hukum, karena lebih baik membebaskan seribu orang
bersalah daripada menghukum seseorang yang tidak bersalah dan menderita
secara tidak adil.

 

Perlindungan yang diberikan oleh hukum acara pidana ini
termasuk perlindungan dari tindakan pencarian bukti kesalahan yang tidak masuk
di akal dan menjurus pada unfair prejudice atau penyitaan terhadap barang
dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan yang
tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful
legal evidence);

 

Dalam suatu proses hukum, aparat penegak hukum diberi kewenangan untuk menegakkan hukum kepada siapa saja yang disangka melanggar hukum. Tidak ada perbedaan apakah pelanggar hukumnya pejabat negara atau warga negara biasa. Meskipun demikian, negara hanya dapat melakukan tindakan terhadap individu yang diduga melakukan suatu tindak pidana berdasarkan batas-batas atau bukti-bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Namun pada sisi lain, ada kewajiban dari negara, terutama Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada warganegaranya. Perlindungan yang harus diberikan ini harus dilakukan dengan memegang teguh keadilan, karena melindungi orang bersalah sekalipun adalah lebih penting daripada memberikan basa-basi prosedural. Sebagimana dikatakan oleh Gustav Radbruch, bahwa jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan rakyat, maka undang-undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada perinsipnya untuk menegakkan keadilan.

 

Pada hakikatnya hukum acara, termasuk hukum acara pidana, secara spesifik adalah sebagai sarana memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa dan hal
tersebut bukanlah merupakan kebajikan dari penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam proses hukum. Oleh karena hukum acara itu bukan sebagai kebajikan, maka pelaksanaan dan kontrol terhadap hukum acara pidana itu harus dilakukan secara ketat dan pasti, sebab perlindungan terhadap hak seorang tersangka atau terdakwa
bukanlah merupakan kebijakan yang diberikan oleh penyidik, penuntut umum atau
hakim, tetapi adalah hak dasar yang diberikan oleh UUD 1945.

Maka dari apa yang kami kemukakan di atas, maka pada hakikatnya permohonan Praperadilan oleh Pemohon memiliki alasan sebagai berikut :

 

I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

a.   Tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penetapan tersangka yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.

 

b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

      Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

 

c.   Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

      Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui praperadilan dapat diakomodir mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah di lakukan oleh aparatur penegak hukum. Hal ini merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi perlakuan sewenang-wenang yang di lakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

e.   Bahwa Penerbitan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) wajib di berikan penyidik kepada Jaksa Penuntut Umum sebagai mana di maksud dalam pasal 109 KUHAP dan kemudian setelah melalui Proses Uji materi di Mahkakam Konstitusi, maka di tegaskan lagi oleh Hakim Konstitusi melalui putusan nomor Nomor 130/PUU-XIII/2015 bahwa waktu penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dari Penyidik kepada Jaksa penuntut Umum selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah penyidikan di mulai.

      Sebagai mana di bunyikan dalam amar putusannya sebagai berikut:

      Mengadili:

      1.   [dst]

      2.   Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara
bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa
“penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai
“penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”

      3.   [dst]

            4.   [dst]

Hal ini di maksudkan supaya penyidik tidak melanggar Due Process of Law dan memberikan kepastian hukum kepada semua pihak termasuk tersangka yang di duga keras telah melakukan perbuatan yang melanggar Hukum Pidana.

 

f.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
Dan lain sebagainya

 

g.   Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

      Mengadili,

      Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

h.   Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

II.   ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBELUMNYA SEBAGAI CALON TERSANGKA.

Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Saksi oleh Termohon kepada Pemohon dengan Surat Panggilan Nomor : S.Pgl/34/III /2023/Reskrim tertanggal 23 Maret 2023 dan di hadiri Pemohon tanggal 04 April 2023 setelah berkoordinasi dengan Termohon terlebih dahulu. Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil ke ruang pemerikasan oleh Bripka Gilang Waluphi, S.H. dan Pemohon di tanya oleh Termohon,

“Kapan kau bayar?” tanya Termohon kepada Pemohon,

“Perjanjian kau disini sudah setahun terang Termohon kepada Pemohon” (sebelumnya di akui oleh Termohon dan Pemohon  bahwa Pemohon dengan Pelapor telah membuat perjanjian tertulis mengenai waktu pembayaran hutang pemohon dan Pelapor di hadapan Termohon dan suratnya di simpan Termohon Sendiri)

“Kasi saya waktu 1 bulan ini pak” jawab Pemohon kepada Termohon.

Kemudia Termohon kembali bertanya kepada Pemohon:

“Kau mau bayar gak? tanya Termohon

“mau pak” jawab Pemohon.

“Berapa kau sanggup bayar hari ini?” tanya Termohon,

“satu juta pak” jawab Pemohon

 “Punya otak dak kau” tanya Termohon ketika pemohon menyampaikan kesanggupan  bayar senilai 1.000.000,- (satu juta rupiah),

“Kasilah saya waktu 1 bulan lagi pak untuk menyelesaikan semuanya.” Pinta Pemohon kepada termohon. namun Termohon tidak mau menerima permintaan Pemohon.

Bahwa kemudian Pemohon meminta untuk bertemu dengan Pelapor dan di setujui oleh Termohon. Pemohon menelepon Pelapor dan Pelapor datang ke Ruangan Penyidik. Ketika bertemu pelapor di hadapan termohon Pemohon meminta kepada Pelapor memberikan waktu bulan ini kepada Pemohon melunasi hutangnya, namun pelapor menyatakan bahwa sudah di serahkan semuanya kepada Pak Gilang, lalu dengan tegas Termohon menyampaikan kepada Pelapor bahwa Termohon melihat gelap pembayarannya, tidak mungkin di bayar bu, ujar Termohon dengan tegas kepada Pelapor. Sehingga pelapor menyerahkan kembali persoalan ini kepada Termohon. Bahwa kemudian Termohon menyodorkan surat berita acara pemeriksaan pemohon, namun ketika di koreksi oleh Pemohon, Termohon malah marah-marah lagi dan mengancam menahan Pemohon, lalu kemudian pemohon dengan terpaksa menandatangani berita acara pemeriksaan yang di anggab Pemohon keliru itu dengan suasana hati terpaksa. Dan Pemohon berangkat dari Kantor Termohon Ke Polresta Jambi. Kemudian ke esok harinya Pemohon pergilagi ke Polresta untuk mengklarifikasi permaslahan yang berbeda, namun Pemohon di tangkap oleh termohon di Mapolresta Jambi tanggal 5 April 2023 dengan  memberikan Pemohon Surat Perintah Penagkapan nomor: SP. Kap/32/IV/2023/Reskrim tanggal 05 April 2023 dan di Pemohon di tahan dan di berikan surat penahanan pada tanggal 06 April 2023. Sehingga jelas proses penyidikan dan Penyelidikan yang di lakukan oleh Termohon adalah hanya untuk memenuhi keinginan Termohon semata dan cenderung ke sewenang-wenangan. Karena sudah jelas di ketahui oleh Termohon bahwa sebelumnya Hutang Pemohon Kepada pelapor senilai Rp. 80.000.000,- ( terbilang: delapan puluh juta rupiah)  vide Bukti P-3 dan telah di bayar oleh Pemohon kepada pelapor sebesar 10.000.000,- (terbilang: sepuluh juta rupiah) Vide Bukti P - 4. Dan sisa 70.000.000,- (terbilang: tujuh puluh juta rupiah) di minta pemohon tenggang waktu 1 bulan setelah masa perjanjian habis untuk menyelesaikannya, namun Termohon menolak permintaan Pemohon.

Untuk itu, berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Polresta Jambi.

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

 

TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON

Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon setelah Termohon menjemput Pemohon dari Mapolresta Jambi, karena pemohon sedang di kantor Polresta jambi dengan urusan yang berbeda. Dan setelah sampai di Kantor Termohon, Tas, dan tiga unit HP di sita Termohon dari tangan Pemohon tanpa ada surat perintah penyitaan. Ketika di Tanya oleh Pemohon, kenapa di sita pak? Termohon menjawab karena ibu sudah tersangka. walaupun belum di serahkannya surat penetapan tersangka kepada Pemohon maupun kepada Kuasa Hukumnya.  Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan sebelum menetapkan tersangka terhadap disi seseorang yang di duga keras telah melakukan tindak pidana.
Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

 

TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Penipuan atau Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon kepada Pemohon hanya berdasar dari dugaan, semata, hal ini berdasar pada surat panggilan sebagai saksi oleh Termohon kepada Pemohon dengan Surat panggilan Nomor : S.Pgl/34/III/2023/Reskrim tertanggal 24 Maret 2023, tidak di ikuti dengan pemeriksaan sebagai mana mestinya, namun Termohon hanya memaki-maki Pemohon, kemudian mempertemukan pemohon dengan pelapor, karena pelapor mau memberi waktu kepada Pemohon, Termohon malah mempengaruhi Pelapor dengan menyampaikan kata-kata: tidak mungkin di bayar bu, terang Termohon dengan tegas kepada pelapor, sehingga Pelapor tidak memberikan waktu lagi kepada Pemohon untuk melunasi hutangnya. Bahwa kemudian Termohon memberikan surat berita acara Pemerikasaan yang tidak ada di lakukan pada tanggal 04 April 2023, ketika di baca oleh Pemohon, dan pemohon mengkoreksi, Termohon malah marah-marah lagi dan mengancam akan menahan Pemohon. Sehingga, pemohon akhirnya menandatangani surat tersebut.
Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.
Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Penggelapan, dan atau Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 dan atau Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon, mengingat dalam pemeriksaan Pemohon oleh Termohon tanggal 4 April 2023, termohon selalu mendasarkan pada pemeriksaan sebelumnya yang belum memiliki “projustitia” kepada Pemohon.

Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

 

HUBUNGAN HUKUM PEMOHON DENGAN PELAPOR ADALAH MURNI HUBUNGAN KEPERDATAAN.

Bahwa Pemohon dan pelapor sekira awal bulan Desember 2021 di pertemukan oleh teman lama Pemohon bernama Pendi di Telanai pura tepatnya di kantin belakang kejaksaan tinggi Jambi.
Bahwa kemudian pelapor bertanya-tanya masalah bisnis kepada Pemohon, dan pemohon menjelaskan bahwa ia sedang menjalankan usaha repair toko Indomaret.
Bahwa kemudian Pelapor bertanya mengenai keuntungan yang di dapatkan pemohon selama bekerja merepair toko Indomaret dan Pemohon menjawab bahwa per unit rata-rata ia bisa dapat sampai dengan 30% dari nilai kontrak.
Bahwa pelapor langsung meminta nomor telepon pemohon untuk selanjutnya di hubungi oleh Pelapor.
Bahwa di akhir bulan Desember 2021, pelapor meminta nomor rekening Pemohon, dan pelapor menyanggupi berapa modal yang di butuhkan oleh Pemohon akan di penuhi oleh Pelapor.
Bahwa pada bulan Januari 2022, jumlah uang yang di transfer oleh pelapor kepada pemohon berjumlah 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah).
Bahwa sampai bulan awal Maret 2022, Pemohon masih tetap bekerja menyelesaikan pekerjaan di Indomaret, namun karena ada kendala teknis di pekerjaan dan pekerjaan merugi.
Bahwa di tanggal 24 Maret 2022 saudara Pendi datang ke rumah Pemohon membawa selembar kwitansi kosong dan mendesak Pemohon untuk menandatanganinya, awalnya pemohon tidak mau, namun karena terus di desak oleh saudara Pendi, Pemohon akhirnya menanda tangani kwitansi tersebut.
Bahwa beberapa hari kemudian saudara Pendi mengirimkan WA yang berisi gambar kwitansi yang telah terisi tulisan bahwa Pemohon telah menerima uang titipan sementara dari Pelapor senilai 80.000.000,- (terbilang: delapan puluh juta rupiah) yang akan di ambil pada tanggal 24 maret 2022 (vide Bukti Kwitansi Penerimaan uang dari pelapor oleh Pemohon).
Bahwa menyadari ada uang Pelapor yang masuk ke dalam pekerjaannya, Pemohon berupaya mengembalikan modal pelapor tersebut, dan pada tanggal 11 Mei 2022, pemohon mengembalikan Rp. 10.000.000,- ( terbilang: sepuluh juta rupiah) kepada pelapor melalui transfer ke rekning Pelapor. (vide bukti transfer ke rekening nomor 7870806749 an Mardiah di Bank BCA)
Bahwa pemohon mengakui masih ada kekurangan bayar ke Pelapor sebesar Rp. 70.000.000,- (terbilang: tujuh puluh juta rupiah) lagi. Namun belum juga ada uang pemohon untuk mengembalikan keseluruhan modal Pelapor, karena pemohon saat ini untuk menyambung hidupnya hanya berjualan ayam di pasar Aur duri, Kota Jambi.
Bahwa pemohon dan pelapor pernah bertemu di kantor Termohon untuk membahas pengembalian uang Pelapor tersebut. Pada saat itu, Pemohon di minta oleh Pelapor dan Termohon qq. Penyidik di Polsek Jambi timur untuk menandatangani surat perjanjian yang tidak mampu saya penuhi, bahkan  salinan perjanjian tersebut tidak pernah di berikan oleh Termohon dan Pelapor kepada Pemohon.
Bahwa sampai saat ini Pemohon masih berupaya membayar kekurangan tersebut kepada pelapor.

Maka dari uraian keterangan pemohon di atas, dapat kami jelaskan bahwa hubungan Pemohon dengan pelapor adalah hubungan keperdataan.

 

SAMPAI 12 HARI PEMOHON DI TAHAN OLEH TERMOHON DI RUMAH TANAHAN NEGARA CABANG POLRESTA JAMBI DAN DI TETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, PEMOHON DAN/ATAU KELUARGANYA DAN/ATAU KUASA HUKUMNYA TIDAK PERNAH DI BERIKAN SURAT PEMBERITAHUAN DI MUALINYA PENYIDIKAN (SPDP) ATAS SANGKAAN YANG DI TUDHKAN KEPADA PEMOHON

Bahwa pada surat Perintah Penahana Pemohon nomor SP.Kap/32/IV/2023/Reskrim, dasar Termohon menahan Pemohon adalah Surat Perintah Penyidikan nomor: SP.Sidik/27/IV/2023/Reskrim, tanggal 05 April 2023.
Bahwa jika di hitung sejak sejak tanggal di keluarkannya Surat Perintah Penyidikan tersebut maka, Pemohon sudah di tahan selama 12 hari (terhitung sejak tanggal 6 April 2023 sampai dengan 17 April 2023).
Bahwa sebagai mana di perintahkan dalam putusan mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, Penyidik harus Mengeluarkan Surat Pemberitahuan dimualinya Penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya 7 hari setelah di keluarkan Surat Perintah Penyidikan.
Bahwa jelas Termohon telah melanggar putusan mahkamah konstitusi tersebut dan mengekakang kemerdekaan pemohon dengan menggunakan Kekuasaan dan kesewenang-wenangan Termohon.

 

PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu ke dalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah keputusan, yakni meliputi:

– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku.

Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

 

III. PETITUM

Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jambi memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Penipuan atau Penggelapan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 atau Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
Memerintahkan Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari Rumah Tahanan Negara cabang Polresta Jambi seketika setelah putusan ini telah di bacakan
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Memerintahkan Termohon melakukan permohonan maaf kepada Pemohon yang di muat di media Televisi Lokal ( 2 Stasiun TV), Media Televisi Nasional (5 Stasiun TV) Surat Kabar Lokal (3 Surat kabar) dan Surat kabar nasional (5 Surat kabar) selama 7 hari berturut-turut sejak putusan perkara a quo di bacakan.
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

PEMOHON  sepenuhnya memohon kepada Yang mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan sebagai mana Pemohon sampaikan dalam Pernyataan pemohon di awal.

Apabila Yang Terhormat Hakim Pengadilan Negeri Jambi yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya