Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI JAMBI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
17/Pid.Pra/2023/PN Jmb 1.Tumiran bin Samsuri
2.Sapriadi bin Saipul
KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Selasa, 05 Des. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 17/Pid.Pra/2023/PN Jmb
Tanggal Surat Selasa, 05 Des. 2023
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1Tumiran bin Samsuri
2Sapriadi bin Saipul
Termohon
NoNama
1KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

ATAS NAMA

 

TUMIRAN BIN SAMSURI SEBAGAI PEMOHON I

SAPRIADI BIN SAIPUL SEBAGAI PEMOHON II

 

MELALUI

PENGADILAN NEGERI JAMBI KELAS IA

 

MELAWAN

KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA

CQ.

KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAMBI

CQ.

DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM KEPOLISIAN DAERAH JAMBI

SEBAGAI TERMOHON

Oleh :

Penasehat Hukum

Yudi Kurnia.,S.H.,M.H.

Ahmad Azhari.,S.H.I.

Riki Hermawan.,S.H.

Linda Dewi Rahayu.,S.H.,M.H.

Janses E Sihaloho.,S.H., M.H.

Feri Apriansyah.,S.H.

Yosep Nurhidayat.,S.H.

Caesar Sophan Aditya.,S.H.

 

 

 

 

 

Jambi, 04 Desember 2023

Kepada Yth.

KETUA PENGADILAN NEGERI JAMBI KELAS IA

Cq. Hakim Tunggal yang Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara A Quo

 Jl. Jend. A Yani No.16, Telanaipura, Kec. Telanaipura, Kota Jambi,

Jambi, 36122

 

Hal    :  PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS NAMA PEMOHON I DAN  PEMOHON II

Dengan Hormat,

Perkenankanlah kami :

Yudi Kurnia.,S.H.,M.H.

Ahmad Azhari.,S.H.I.

Riki Hermawan.,S.H.

Linda Dewi Rahayu.,S.H.,M.H.

Janses E Sihaloho.,S.H., M.H.

Feri Apriansyah.,S.H.

Yosep Nurhidayat.,S.H.

Caesar Sophan Aditya.,S.H.

 

Kami Para Advokat dan/atau Pengacara Publik yang tergabung dalam TIM ADVOKASI SOLIDARITAS KUMPEH, yang beralamat di Jl. Siswa II Lorong Kulim No. 136 RT/RW 014/000 Kelurahan Suka Karya, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi, Provinsi Jambi, Kodepos 36127, untuk selanjutnya dipilih sebagai domisili hukum Pemberi Kuasa, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 1 Desember 2023, dalam hal ini secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama:

 

Nama

:

Tumiran bin Samsuri

Kewarganegaraan

:

Indonesia

Jenis Kelamin

:

Laki-Laki

Tempat, Tanggal Lahir

:

Pemetung, 11 Februari 1982

Pekerjaan

:

Sopir

Agama

:

Islam

Alamat

:

Jl. Marene RT/RW 031/000 Kelurahan Eka Jaya Kecamatan Paal Merah Kota/Provinsi Jambi

Untuk selanjutnya disebut sebagai ___________________________________ PEMOHON I

Nama

:

Sapriadi bin Saipul

Kewarganegaraan

:

Indonesia

Jenis Kelamin

:

Laki-Laki

Tempat, Tanggal Lahir

:

Parit, 13 Oktober 1988

Pekerjaan

:

Wiraswasta

Agama

:

Islam

Alamat

:

Jl. Jambi Suak Kandis RT/RW 006/000 Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi

 

Untuk selanjutnya disebut sebagai __________________________________ PEMOHON II

 

——————————– M E L A W A N ——————————–

KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA cq KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAMBI cq DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM KEPOLISIAN DAERAH JAMBI yang beralamat di Jl. Jend Sudirman No.45, Kel. Tambak Sari, Kec. Jambi Sel, Kota Jambi, Kode Pos 36138.

Untuk selanjutnya disebut sebagai __________________________________ TERMOHON

Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan para Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana pencurian berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 dan/atau Pasal 480 KUHP dan/atau Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP oleh Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Jambi Cq. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jambi.

Adapun permohonan ini kami bagi dalam bentuk dan susunan sebagai berikut:

PENDAHULUAN
DASAR HUKUM PERMOHONAN
ALASAN PERMOHONAN

A. KRONOLOGI DAN FAKTA HUKUM

B. TENTANG HUKUM

PENUTUP
PETITUM

 

 

 

 

Berikut adalah pendahuluan permohonan kami:

PENDAHULUAN

Hakim tunggal yang Mulia,

Hukum seharusnya mampu menjadi instrumen mencapai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan masyarakat. Namun acap kali hukum justru digunakan sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan segelintir elit. Hukum yang eksesif oleh penegak hukum seringkali ditemui dalam berbagai kasus, khususnya kasus yang dilatari oleh konflik agraria.

 

Bahwa berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 2015-2022 setidaknya telah terjadi 2.710 konflik agraria yang mengkriminalisasi 1.615 orang, dengan menggunakan kekerasan pada 814 orang, penembakan pada 78 orang, hingga 69 orang tewas (KPA, 2023). Khususnya di Provinsi Jambi, pada tahun 2023 terdapat 15 letusan konflik agraria, yaitu di sektor perkebunan sebanyak 11 konflik, Hutan Tanaman Industri 3 konflik, dan pertambangan 2 konflik. Konflik di Jambi setidaknya telah mengkriminalisasi 53 orang (KPA Wilayah Jambi, 2023). Konflik agraria mengakibatkan bercokolnya ketimpangan, ketidakadilan dan kemiskinan struktural, sehingga penyelesaiannya tidak dapat menggunakan pendekatan hukum pidana an sich.

 

Bahwa tingginya angka konflik agraria dan korban kriminalisasi, menunjukkan penegakan hukum seringkali bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi sebagaimana dicita-citakan konstitusi. Padahal satu kasus salah tangkap saja sudah terlalu banyak untuk terjadi di negara hukum, khususnya yang terjadi di Provinsi Jambi.

 

Bahwa unsur penting dan fundamental untuk mendukung pelaksanaan due process of law adalah harus adanya jaminan, bahwa peradilan yang dilakukan harus jujur dan tidak memihak kecuali untuk memihak pada kebenaran dan keadilan, atau Fair and Impartial Court (peradilan jujur dan tidak memihak).

 

Bahwa lahirnya lembaga Praperadilan karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan Fundamental terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum, atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut sah, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

 

Bahwa berdasarkan pendapat S. Tanusubroto (1983), keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan, yaitu:

 

Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu.
Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

 

Bahwa sesuai uraian di atas, Lembaga Praperadilan merupakan upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan HAM, telah pula dituangkan secara tegas dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP, yang dengan sendirinya menjadi spirit atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi:

 

(a) Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

 

(c) Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945.

 

Bahwa menurut Mardjono Reksodiputro, due process of law sering ditafsirkan secara keliru, karena hanya dikaitkan dengan penerapan aturan hukum acara pidana dalam suatu proses peradilan terhadap terdakwa. Pengertian dari proses peradilan pidana yang adil harus lebih luas dari pada sekadar menerapkan aturan hukum acara pidana, namun selain itu harus terdapat suatu sikap penghargaan terhadap hak-hak warga negara termasuk di dalamnya adalah tersangka dan terdakwa. Inti dari pengertian due process of law yang benar adalah perlindungan terhadap kebebasan warga negara dengan standar yang “reasonableness” yang sesuai dengan konstitusi negara, dan hal itu merupakan tonggak utama sistem peradilan pidana dalam negara hukum.

 

Bahwa tujuan dari Praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau perundang-undangan lainnya.

 

Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya HAM akan dilindungi. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (Penetapan Tersangka) tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi atau dibatalkan.

 

Adapun permohonan praperadilan a quo berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

II. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Hakim tunggal yang Mulia,

Bahwa sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Negara Indonesia adalah Negara Hukum;

 

Bahwa secara umum, Negara hukum memiliki tiga ciri, yakni adanya supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum, dan due process of law, yang pada dasarnya bertujuan melindungi setiap individu (dalam hal ini warga negara) terhadap tindakan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh Negara. Indonesia sebagai Negara hukum, memiliki syarat utama yaitu pengakuan, jaminan hak-hak dasar manusia yang dijunjung tinggi (Oemar Seno Adji: 1980) yang disebut juga HAM;

 

Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan HAM;

 

Bahwa berdasarkan Pasal 28 huruf I ayat (5) UUD 1945, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal ini, Hukum Acara Pidana merupakan salah satu wujud pengejawantahan mandat UUD 1945 tersebut yang tentunya bertujuan untuk menegakkan dan melindungi HAM. Hal ini sejalan dengan bagian Menimbang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) huruf (a) dan (c);

 

Bahwa merujuk pertimbangan (ratio decidendi) Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 (hal. 84-85), Mahkamah menjelaskan:

 

“Prinsip negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 (vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya”. Mahkamah juga menyatakan bahwa “Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 28 huruf (I) ayat (5) UUD 1945). Hukum Acara Pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law”. Lebih lanjut Mahkamah menegaskan bahwa “Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusional berdasarkan UUD 1945 maka dalam proses peradilan pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum yang adil [....]”

 

Bahwa salah satu bentuk HAM yang dilindungi dalam hukum acara pidana adalah hak tersangka. Perlindungan terhadap hak-hak seorang Tersangka juga tercantum di dalam International Covenant on Civil and Political Rights pasal 14 ayat (3) huruf a yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menyatakan:

 

“[....] dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: a) untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dan dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya.”

 

Salah satu upaya KUHAP melindungi dan mewujudkan HAM ialah dengan menghadirkan inovasi Praperadilan yang sesungguhnya dibentuk sebagai bentuk terjemahan dari Habeas Corpus dalam sistem Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM dari ancaman kesewenang-wenangan otoritas, khususnya hak kemerdekaan. Lebih lanjut, Luhut M. P. Pangaribuan juga menyatakan bahwa lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Luhut M. P. Pangaribuan selanjutnya dalam buku “Hukum Acara Pidana” menyampaikan dalam sistem hukum Eropa Kontinental, fungsi lembaga praperadilan ini menyerupai fungsi Examinating Judge (Rechter Commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’Instruction di Perancis yakni mengawasi apakah sah atau tidak suatu upaya paksa;

 

Bahwa keberadaan lembaga praperadilan tersebut secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol dan pengawasan horizontal dalam kerangka diferensiasi fungsional KUHAP untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik. Melalui lembaga ini, penyidik dapat diawasi dalam tindakan sehingga tidak sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Hal ini semata-mata dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang, termasuk dalam hal ini Pemohon I dan Pemohon II;

 

Menurut Andi Hamzah (1986), Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan bertujuan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;

 

Bahwa sebagaimana diketahui Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

 

Bahwa yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP di antaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisir terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum;

 

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Bahwa berdasarkan Pasal 81 jo. 82 ayat (1) huruf d KUHAP, selama perkara a quo dapat diajukan sebelum dimulainya pemeriksaan terhadap pokok perkara a quo, yang lengkapnya yaitu:

(1)  Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (d). dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan  pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan itu gugur.

 

Bahwa pada hakikatnya pranata Praperadilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik). Dalam hal wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui pranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara (in casu PEMOHON);

 

Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka (in casu PEMOHON) adalah untuk menguji tindakan–tindakan penyidik itu apakah bersesuaian dengan norma/ketentuan dasar-mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah “kunci utama” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik) berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya “status tersangka” itu menjadi alasan hukum bagi aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik) untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka;

 

Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka adalah melalui pranata Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;

 

Bahwa Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan :

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

 

Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim Praperadilan telah membuat putusan terkait penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, antara lain:

Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 04/Pid/Prap/2014/ PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain: “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON”;

 

Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 36/Pid.Prap/ 2015/PN.JKT.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar putusan, antara lain: “Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014; Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;

 

Bahwa pranata Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU–XII/2014, tanggal 28 April 2015;
Bahwa dengan memperhatikan praktek peradilan melalui putusan Praperadilan atas penetapan Tersangka tersebut di atas serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang berbunyi, “Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum” (Putusan MK hal 105-106), maka cukup alasan hukumnya bagi PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui Praperadilan;
Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang berbunyi antara lain : “Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;” maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan Tersangka menurut hukum adalah merupakan objek Praperadilan;

 

Dengan demikian, telah jelas dan tegas, lembaga praperadilan ini berwenang untuk melakukan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan sesuai dengan Pasal 77 huruf a dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014;

 

 

 

 

 

III. ALASAN DIAJUKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

KRONOLOGI DAN FAKTA HUKUM

 

Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, warga Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, yaitu Sdr. Irwansyah, Sdr. Bakini, Sdr. Hanafia, Sdr. Fahmi, Sdr. Taufik, Sdr. Sopian, Sdr. Aidi dan Sdri. Suryati, melakukan pemanenan kelapa sawit di kebun milik pribadi mereka di Desa Sumber Jaya;

 

Bahwa Pemohon I berprofesi sebagai sopir, selain menjadi sopir truk pengangkut Tandan Buah Segar (TBS) sawit, Pemohon juga sebagai sopir pengangkut pupuk dan batu bara;

 

Bahwa Pemohon II berprofesi sebagai sopir, sopir cadangan dan pekerja serabutan yang terkadang ikut muat buah sawit;

 

Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 19.00 WIB, hasil panen buah sawit tersebut dilakukan pengangkutan buah sawit ke Truk dengan Merk Mitsubishi Canter warna kuning yang dikendarai oleh Pemohon I dengan Nomor Polisi BH 8346 AL dan Truk dengan merk Isuzu Giga berwarna Putih Pemohon II  dengan nomor polisi BG 8498 KN;

 

Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 21.00 WIB, Pemohon I dan Pemohon II mengendarai mobil truk yang bermuatan buah kelapa sawit tersebut dari desa Sumber Jaya menuju Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk dijual ke PT. Palma Gemilang Kencana (PGK) yang  beralamat di Desa Simpang Tuan Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi;

 

Bahwa jarak Truk yang dikendarai Pemohon I dan Pemohon II berjarak cukup jauh sekiranya 1 KM;

 

Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 21.30 WIB, saat di perjalanan tepatnya di Desa Niaso Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi, Mobil truk yang dikendarai oleh Pemohon I dipepet mobil pribadi yang dikendarai oleh anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi yang berjumlah 1 (satu) mobil dengan merk mobil Avanza warna hitam dan langsung memotong ke depan sehingga Pemohon I menghentikan truk yang ia bawa;

 

Bahwa setelah dipepet oleh anggota Polisi Polisi Ditreskrimum Polda Jambi, Pemohon I disuruh turun dari mobil yang dikemudikannya dan diberi pertanyaan oleh anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi tentang keberadaan truk yang dikendarai oleh Pemohon II. berselang kurang lebih 30 menit, muncullah mobil yang dikendarai Pemohon II dari belakang dan langsung diketahui oleh rombongan dari anggota polisi tersebut;

 

Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 22.30 WIB, saat di perjalanan tepatnya di Desa Niaso Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi, Pemohon II kurang lebih dipepet 5 (lima) mobil jenis Avanza dan Innova dengan warna mobil hitam semuanya, yang berisikan anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi dan langsung memotong ke depan sehingga Pemohon II menghentikan truk yang ia bawa;

 

Bahwa Pemohon I langsung disuruh putar balik mengendarai truk nya menuju Markas Polda Jambi dengan dikawal oleh dua orang anggota polisi penyidik Ditreskrimum Polda Jambi yang duduk disampingnya;

 

Bahwa 5 (lima) mobil anggota polisi tersebut melakukan pengejaran dan mengeluarkan senjata api lalu melakukan penembakan ke atas sebagian meneriakkan “rampok-rampok” kepada Pemohon II, sehingga warga sekitar keluar untuk melihat situasi keramaian di lokasi tersebut;

 

Bahwa pada saat di lokasi penangkapan berdasarkan pengakuan Pemohon II, bahwa anggota Polisi yang berpakaian bebas dari Ditreskrimum Polda Jambi, diduga melakukan pemukulan terhadap Pemohon II tepat di samping pelipis mata sebelah kiri sebanyak 3 (tiga) kali, dan Pemohon II diteriaki “perampok” oleh anggota polisi tersebut serta mengeluarkan 2 (dua) tembakan ke atas dan diminta untuk tiarap, pada saat meringkuk untuk tiarap Pemohon II mendapat terjangan dari belakang sehingga langsung tersungkur tiarap;

 

Bahwa Selanjutnya Pemohon II langsung diborgol menggunakan borgol plastik tetapi terlepas sehingga setelah itu langsung diganti menggunakan borgol besi. Setelah itu Pemohon II langsung di masukan ke mobil avanza berwarna hitam yang dikendarai oleh anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi dan dibawa ke Markas Polda jambi dan sampai sekira pukul 23.30 WIB;

 

Bahwa pada Rabu, 22 November 2023, pukul 00.30 WIB, terhadap Pemohon I dan Pemohon II dilakukan pemeriksaan BAP di Markas Polda Jambi;

 

Bahwa Pada Kamis tanggal 23 November 2023 pukul 09.00 WIB. Sdri. Eka Pulandari selaku (Istri Pemohon I) mendapatkan Surat Perintah Penangkapan nomor: SP.Kap/165/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I, Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga. Nomor : B/143/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, atas nama Eka Pulandari dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama  selaku Pemohon I, bahwa suaminya ditangkap oleh pihak anggota  Kepolisian (POLDA Jambi);

 

Bahwa pada Kamis, 23 November 202, pukul 18.41 WIB, Sdri. Winda Safitri selaku (Istri Pemohon II) mendapatkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/166/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II, Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga. Nomor : B/144/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum, atas nama Winda Safitri dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/126/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II yang menginformasikan bahwa suaminya ditangkap oleh pihak Kepolisian (POLDA Jambi);

 

TENTANG HUKUM

 

DASAR HUKUM PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PARA PEMOHON

 

Bahwa Termohon menetapkan Tersangka terhadap Pemohon I dan Pemohon II atas dugaan tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan atau penadahan dan atau turut serta melakukan tindak pidana dan atau membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 dan/atau Pasal 480 KUHPidana dan/atau Pasal 55 KUHPidana dan/atau Pasal 56 KUHPidana;
Bahwa berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum a.n Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/126/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum a.n. Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II ditahan dengan statusnya sebagai Tersangka sehubungan dengan dugaan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 dan/atau Pasal 480 KUHPidana dan/atau Pasal 55 KUHPidana dan/atau Pasal 56 KUHPidana atas nama Pelapor Sdr. ENRYCO SIREGAR berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B-339/XI/2023/SPKT Polda Jambi, tanggal 22 November 2023;
Bahwa atas laporan tersebut Termohon mengeluarkan:

Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/207/XI/RES.1.8./2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 22  November   2023;
Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/165/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 22 November 2023 atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I;
Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/166/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 22 November 2023 atas nama Sapriadi Bin Saipul selaku Pemohon II;
Surat Perintah Penahanan Nomor ; SP.Han/127/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 23 November 2023 Polda Jambi atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I;
Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/126/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 23 November 2023 atas nama Sapriadi Bin Saipul selaku Pemohon II.

 

TENTANG TIDAK SAH DAN BERDASAR HUKUM PENANGKAPAN TERHADAP PARA PEMOHON

Bahwa berdasarkan uraian kronologis terdapat fakta bahwa Pemohon I dan Pemohon II ditangkap oleh Termohon tidak berdasarkan Legalitas Formil yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pemohon I dan Pemohon  II ditangkap di jalanan tanpa dijelaskan alasan penangkapan dan ditunjukkan surat perintah penangkapan dan Pemohon II diteriaki sebagai “Perampok” oleh salah satu anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi;
Bahwa penangkapan oleh Termohon terhadap Pemohon I dan Pemohon II terjadi pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 22.30 WIB, sementara Surat Laporan Polisi Nomor: LP/B-339/XI/2023/SPKT Polda Jambi, tanggal 22 November 2023 atas nama oleh Enryco Siregar dan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/165/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I tercatat pada hari Rabu, tanggal 22 November 2023, dan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/166/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 22 November 2023 atas nama Sapriadi Bin Saipul selaku Pemohon II;
Bahwa Termohon sepatutnya tidak melakukan tindakan  kekerasan fisik/penganiayaan dan melakukan pengobatan dan visum di RS Bhayangkara bukannya Termohon yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat dengan memfasilitasi para Pemohon untuk dilakukan tindakan pengobatan/perawatan kesehatan para Pemohon yang mengalami kekerasan fisik dan visum et repertum, berdasarkan Pasal 40 Perkapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana;
Bahwa ternyata Termohon tidak memberikan tembusan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/165/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I tercatat pada hari Rabu tanggal 22 November 2023 dan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/166/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, atas nama Sapriadi Bin Saipul selaku Pemohon II tercatat pada hari Rabu tanggal 22 November 2023. Kepada pihak keluarga para pemohon selama 1 x 24 Jam;
Bahwa pihak keluarga Pemohon I yaitu Sdri. Eka Pulandari selaku (Istri Pemohon I) baru mendapatkan Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga Nomor : B/143/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Eka Pulandari selaku (istri Pemohon I), Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I, Surat Perintah Penangkapan nomor: SP.Kap/165/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi pada hari Kamis tanggal 23 November 2023, pukul 09.00 WIB dari Ditreskrimum Polda Jambi di Markas Polda Jambi;
Bahwa pihak keluarga Pemohon II yaitu Sdri. Winda Safitri selaku (Istri Pemohon II) baru mendapatkan Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga Nomor : B/144/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Winda Safitri selaku (istri Pemohon II), Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II, Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/166/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II, pada hari Kamis tanggal 23 November 2023, pukul 18.41 WIB dari Sdri. Nita selaku keluarga Pemohon II;
Bahwa oleh karenanya penangkapan perkara a quo oleh Termohon melanggar asas legalitas, tidak sesuai fakta, illegal , cacat formil, tidak sah, mengada-ngada dan berdasar hukum;

TENTANG TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR HUKUM PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PARA PEMOHON

 

Penetapan Status Tersangka Terhadap PEMOHON Yang Tidak Didasarkan Pada Bukti Permulaan Yang Kuat:

 

Bahwa Termohon telah mengeluarkan penetapan terhadap Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/207/XI/RES.1.8./2023/Ditreskrimum tanggal 22  November   2023 dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/165/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi tanggal 22 November 2023 atas nama Tumiran bin Samsuri dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/166/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi tanggal 22 November 2023 atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II;
Bahwa berdasarkan keterangan Termohon, Pemohon I dan Pemohon II ditetapkan sebagai Tersangka diduga melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan Pasal 363 dan/atau Pasal 480 KUHP dan/atau Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP;
Bahwa Perintah Penangkapan oleh Termohon terhadap Pemohon  I dan Pemohon II berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/165/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum  pada tanggal 22 November 2023 atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/166/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi tanggal 22 November 2023 atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II atas dasar Laporan Polisi Nomor: LP/B-339/XI/2023/SPKT/POLDA Jambi  oleh Pelapor atas nama Enryco Siregar Pada tanggal 22 November 2023 sementara Faktanya Penangkapan Pemohon terhadap Pemohon I dan Pemohon II pada tanggal 21 November 2023 sekira jam 21.00 dan 22.30;
Bahwa penangkapan sebagai upaya paksa  terhadap Pemohon I dan Pemohon II di Desa Niaso pada tanggal 21 November 2023 oleh Termohon dilakukan tanpa Pemanggilan terdahulu 2 (dua) kali  berturut-turut  bertentangan dengan Perkapolri no 14 tahun 2012 Ayat (1) huruf (b) “tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar”;
Bahwa Penetapan Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka tidak beralasan dan mengada-ada. Pemohon I dan Pemohon II keduanya adalah sopir, sopir cadangan dan pekerja serabutan tidak tetap yang saat membawa truk buah sawit yang ditangkap Termohon yang sedang membawa buah sawit milik warga Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi dimana para pemilik kebun sawit tersebut tidak dirugikan dan tidak melakukan Pelaporan Polisi;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP,  Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak pidana. Bahwa berdasarkan pengertian ini, seorang tersangka di tetapkan sebagai tersangka setelah melalui proses hukum yang berujung pada ada atau tidaknya bukti permulaaan yang cukup, hal mana dilakukan hanya setelah melalui serangkaian proses hukum berupa penyelidikan dan atau penyidikan;
Bahwa norma Pasal 1 angka 14 KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah diputus dalam Putusan Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 dengan amar yang berbunyi: Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

 

Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;

 

Bahwa dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, menyatakan :

“Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)...”

 

“Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik di dalam menentukan "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka...”

 

Bahwa berdasarkan pertimbangan maupun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 tersebut diatas, penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, untuk itu PEMOHON akan menguraikan apakah penetapan tersangka terhadap diri PEMOHON telah didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) bukti permulaan yang cukup sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP baik secara kuantitas maupun kualitas bukti-bukti;

 

Bahwa pada prinsipnya pemeriksaan terhadap seorang calon tersangka serta jumlah minimal 2 (dua) alat bukti dalam menetapkan seseorang selaku Tersangka, tidak hanya bersifat legalistik formil namun juga harus mengandung substansi/kebenaran materiil adanya hubungan atau relevansi bukti dengan Tersangka (kualitas bukti).

 

Apakah secara jumlah bukti “kuantitas bukti” dan “kualitas bukti” penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON telah terpenuhi?

 

Bahwa agar dapat dilakukan penetapan tersangka pencurian dan penadahan bagi PARA PEMOHON, maka seharusnya penyidik / TERMOHON terlebih dahulu membuktikan tentang siapakah pemilik tandan sawit yang diangkut oleh PARA PEMOHON, apakah pelapor atau pihak yang menggunakan memakai jasa angkutan, hal mana tidak pernah dilakukan oleh TERMOHON sebelum penetapan tersangka .

Bahwa sebelum penetapan tersangka penyidik tidak pernah memeriksa pihak-pihak yang merasa memilik tandan sawit terlebih dahulu sehingga sangat jelas dan sangat terang benderang bahwasanya penetapan tersangka tidak dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan bukti permulaan yang kuat sebagaimana putusan mahkamah konstitusi sebagaimana di uraikan di atas. Bahwa pemeriksaan bukti terlebih dahulu secara kuantitas ataupun jumlah alat bukti yang dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup, tidak semata-mata hanya berupa legalitas formil bahwa minimal jumlah 2 (dua) alat bukti telah terpenuhi, karena alat bukti dimaksud haruslah memiliki kualitas pembuktian yang memiliki hubungan langsung ataupun tidak langsung antara penetapan tersangka dengan tindak pidana yang di duga dilakukannya. Dengan kata lain, penyidik Kepolisian Republik Indonesia, secara hukum, seharusnya menguraikan keterkaitan bukti-bukti yang dijadikan dasar dalam suatu perkara dengan penetapan Tersangka. Terkait perkara ini, dapat kami jelaskan bahwa berdasarkan keseluruhan bukti-bukti yang dijadikan sebagai dasar penetapan Tersangka tidak memiliki hubungan/relevansi dengan Pemohon Peradilan (quod non);

TENTANG TIDAK SAHNYA PENAHANAN PARA PEMOHON

 

Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah dilakukan Penahanan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/126/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi a.n. Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon I dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi a.n. Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon II;
Bahwa Penahanan oleh Termohon adalah berdasarkan Surat Perintah Penahanan a quo adalah Tidak Sah dan tidak berdasarkan hukum berdasarkan uraian cacat formil dan materiil penetapan Tersangka terhadap Pemohon sebagaimana diuraikan di atas;
Bahwa selain itu sampai dengan saat ini pihak keluarga tidak pernah menerima Surat Panggilan 2 (dua) kali berturut-turut, Surat Berita Acara Penangkapan, SPDP, Surat Penetapan Tersangka secara tertulis dari Termohon;
Bahwa TIDAK SAH  Surat Perintah Penangkapan dan Penetapan Tersangka, Surat  Penahanan nomor: SP.Han/127/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi a.n. Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I dan Surat Perintah Penahanan nomor: SP.Han/126/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi a.n. Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II;

 

 

 

IV. PENUTUP

PENETAPAN SEBAGAI TERSANGKA, PENANGKAPAN, DAN PENAHANAN PARA PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN TERMOHON DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak asasi manusia (HAM) sehingga asas hukum presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan HAM tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri;
Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut (Sudikno Mertokusumo) kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut (Sjachran Basah) “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu “perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan”. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon I dan Pemohon II uraikan di atas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon I  dan Pemohon II dalam Permohonan  a quo sebagaimana diulas dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut:

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”.
Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap para Pemohon dapat dinyatakan sebagai Keputusan yang tidak sah dan batal demi hukum.

V. PETITUM

Berdasar pada fakta-fakta dan uraian hukum di atas, Pemohon memohon kepada Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara praperadilan  a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut:

Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon I dan Pemohon II sebagai tersangka dengan dugaan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 dan/atau pasal 480 KUHP dan/atau pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 oleh Kepolisian Republik Indonesia C.q. Kepolisian Republik Indonesia Daerah Jambi C.q. Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jambi adalah tindakan yang tidak sah, sewenang-wenang, mengada-ada dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka kepada Pemohon I dan Pemohon II oleh Termohon tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta batal demi hukum;
Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Pemohon I dan Pemohon II berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/207/XI/RES.1.8./2023/Ditreskrimum Polda Jambi tanggal 22  November   2023;
Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya melalui media cetak nasional, media televisi dan media online selama 7 (tujuh) hari kerja secara berturut-turut;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.

Apabila Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

 

 

Hormat Kami,

TIM ADVOKASI SOLIDARITAS KUMPEH

 


 

 

 

 

 

 

Yudi Kurnia.,S.H.,M.H.

 

    

      Janses E Sihaloho.,S.H., MH.

 

Ahmad Azhari.,S.H.I.

 

Feri Apriansyah.,S.H.

 

 

 

Riki Hermawan.,S.H.

 

 

 

Yosep Nurhidayat.,S.H.

 


 

 

 

 

 

Linda Dewi Rahayu.,S.H.,M.H.

 

 

Caesar Sophan Aditya.,S.H.

M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 159) mengatakan bahwa kalau tidak ada surat tugas penangkapan, tersangka berhak menolak untuk mematuhi perintah penangkapan, karena surat tugas itu merupakan syarat formal yang bersifat “imperatif”. Juga agar jangan terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya