Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
17/Pid.Pra/2023/PN Jmb | 1.Tumiran bin Samsuri 2.Sapriadi bin Saipul |
KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Selasa, 05 Des. 2023 | ||||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||||
Nomor Perkara | 17/Pid.Pra/2023/PN Jmb | ||||||
Tanggal Surat | Selasa, 05 Des. 2023 | ||||||
Nomor Surat | - | ||||||
Pemohon |
|
||||||
Termohon |
|
||||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||||
Petitum Permohonan | PERMOHONAN PRAPERADILAN
ATAS NAMA
TUMIRAN BIN SAMSURI SEBAGAI PEMOHON I SAPRIADI BIN SAIPUL SEBAGAI PEMOHON II
MELALUI PENGADILAN NEGERI JAMBI KELAS IA
MELAWAN KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA CQ. KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAMBI CQ. DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM KEPOLISIAN DAERAH JAMBI SEBAGAI TERMOHON Oleh : Penasehat Hukum Yudi Kurnia.,S.H.,M.H. Ahmad Azhari.,S.H.I. Riki Hermawan.,S.H. Linda Dewi Rahayu.,S.H.,M.H. Janses E Sihaloho.,S.H., M.H. Feri Apriansyah.,S.H. Yosep Nurhidayat.,S.H. Caesar Sophan Aditya.,S.H.
Jambi, 04 Desember 2023 Kepada Yth. KETUA PENGADILAN NEGERI JAMBI KELAS IA Cq. Hakim Tunggal yang Memeriksa, Mengadili dan Memutus Perkara A Quo Jl. Jend. A Yani No.16, Telanaipura, Kec. Telanaipura, Kota Jambi, Jambi, 36122
Hal : PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS NAMA PEMOHON I DAN PEMOHON II Dengan Hormat, Perkenankanlah kami : Yudi Kurnia.,S.H.,M.H. Ahmad Azhari.,S.H.I. Riki Hermawan.,S.H. Linda Dewi Rahayu.,S.H.,M.H. Janses E Sihaloho.,S.H., M.H. Feri Apriansyah.,S.H. Yosep Nurhidayat.,S.H. Caesar Sophan Aditya.,S.H.
Kami Para Advokat dan/atau Pengacara Publik yang tergabung dalam TIM ADVOKASI SOLIDARITAS KUMPEH, yang beralamat di Jl. Siswa II Lorong Kulim No. 136 RT/RW 014/000 Kelurahan Suka Karya, Kecamatan Kota Baru, Kota Jambi, Provinsi Jambi, Kodepos 36127, untuk selanjutnya dipilih sebagai domisili hukum Pemberi Kuasa, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 1 Desember 2023, dalam hal ini secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama:
Nama : Tumiran bin Samsuri Kewarganegaraan : Indonesia Jenis Kelamin : Laki-Laki Tempat, Tanggal Lahir : Pemetung, 11 Februari 1982 Pekerjaan : Sopir Agama : Islam Alamat : Jl. Marene RT/RW 031/000 Kelurahan Eka Jaya Kecamatan Paal Merah Kota/Provinsi Jambi Untuk selanjutnya disebut sebagai ___________________________________ PEMOHON I Nama : Sapriadi bin Saipul Kewarganegaraan : Indonesia Jenis Kelamin : Laki-Laki Tempat, Tanggal Lahir : Parit, 13 Oktober 1988 Pekerjaan : Wiraswasta Agama : Islam Alamat : Jl. Jambi Suak Kandis RT/RW 006/000 Desa Sumber Jaya Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi
Untuk selanjutnya disebut sebagai __________________________________ PEMOHON II
——————————– M E L A W A N ——————————– KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA cq KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DAERAH JAMBI cq DIREKTORAT RESERSE KRIMINAL UMUM KEPOLISIAN DAERAH JAMBI yang beralamat di Jl. Jend Sudirman No.45, Kel. Tambak Sari, Kec. Jambi Sel, Kota Jambi, Kode Pos 36138. Untuk selanjutnya disebut sebagai __________________________________ TERMOHON Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan para Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan tindak pidana pencurian berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 dan/atau Pasal 480 KUHP dan/atau Pasal 55 KUHP dan/atau Pasal 56 KUHP oleh Kepolisian Republik Indonesia Cq. Kepala Kepolisian Daerah Jambi Cq. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jambi. Adapun permohonan ini kami bagi dalam bentuk dan susunan sebagai berikut: PENDAHULUAN A. KRONOLOGI DAN FAKTA HUKUM B. TENTANG HUKUM PENUTUP
Berikut adalah pendahuluan permohonan kami: PENDAHULUAN Hakim tunggal yang Mulia, Hukum seharusnya mampu menjadi instrumen mencapai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan masyarakat. Namun acap kali hukum justru digunakan sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan segelintir elit. Hukum yang eksesif oleh penegak hukum seringkali ditemui dalam berbagai kasus, khususnya kasus yang dilatari oleh konflik agraria.
Bahwa berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 2015-2022 setidaknya telah terjadi 2.710 konflik agraria yang mengkriminalisasi 1.615 orang, dengan menggunakan kekerasan pada 814 orang, penembakan pada 78 orang, hingga 69 orang tewas (KPA, 2023). Khususnya di Provinsi Jambi, pada tahun 2023 terdapat 15 letusan konflik agraria, yaitu di sektor perkebunan sebanyak 11 konflik, Hutan Tanaman Industri 3 konflik, dan pertambangan 2 konflik. Konflik di Jambi setidaknya telah mengkriminalisasi 53 orang (KPA Wilayah Jambi, 2023). Konflik agraria mengakibatkan bercokolnya ketimpangan, ketidakadilan dan kemiskinan struktural, sehingga penyelesaiannya tidak dapat menggunakan pendekatan hukum pidana an sich.
Bahwa tingginya angka konflik agraria dan korban kriminalisasi, menunjukkan penegakan hukum seringkali bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi sebagaimana dicita-citakan konstitusi. Padahal satu kasus salah tangkap saja sudah terlalu banyak untuk terjadi di negara hukum, khususnya yang terjadi di Provinsi Jambi.
Bahwa unsur penting dan fundamental untuk mendukung pelaksanaan due process of law adalah harus adanya jaminan, bahwa peradilan yang dilakukan harus jujur dan tidak memihak kecuali untuk memihak pada kebenaran dan keadilan, atau Fair and Impartial Court (peradilan jujur dan tidak memihak).
Bahwa lahirnya lembaga Praperadilan karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan Fundamental terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum, atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut sah, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Bahwa berdasarkan pendapat S. Tanusubroto (1983), keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan, yaitu:
Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
Bahwa sesuai uraian di atas, Lembaga Praperadilan merupakan upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan HAM, telah pula dituangkan secara tegas dalam konsideran Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP, yang dengan sendirinya menjadi spirit atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi:
(a) Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(c) Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945.
Bahwa menurut Mardjono Reksodiputro, due process of law sering ditafsirkan secara keliru, karena hanya dikaitkan dengan penerapan aturan hukum acara pidana dalam suatu proses peradilan terhadap terdakwa. Pengertian dari proses peradilan pidana yang adil harus lebih luas dari pada sekadar menerapkan aturan hukum acara pidana, namun selain itu harus terdapat suatu sikap penghargaan terhadap hak-hak warga negara termasuk di dalamnya adalah tersangka dan terdakwa. Inti dari pengertian due process of law yang benar adalah perlindungan terhadap kebebasan warga negara dengan standar yang “reasonableness” yang sesuai dengan konstitusi negara, dan hal itu merupakan tonggak utama sistem peradilan pidana dalam negara hukum.
Bahwa tujuan dari Praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau perundang-undangan lainnya.
Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas kepastian hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya HAM akan dilindungi. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (Penetapan Tersangka) tidak terpenuhi, maka dapat dipastikan proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi atau dibatalkan.
Adapun permohonan praperadilan a quo berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: II. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN Hakim tunggal yang Mulia, Bahwa sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Negara Indonesia adalah Negara Hukum;
Bahwa secara umum, Negara hukum memiliki tiga ciri, yakni adanya supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum, dan due process of law, yang pada dasarnya bertujuan melindungi setiap individu (dalam hal ini warga negara) terhadap tindakan sewenang-wenang yang dapat dilakukan oleh Negara. Indonesia sebagai Negara hukum, memiliki syarat utama yaitu pengakuan, jaminan hak-hak dasar manusia yang dijunjung tinggi (Oemar Seno Adji: 1980) yang disebut juga HAM;
Bahwa tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan HAM;
Bahwa berdasarkan Pasal 28 huruf I ayat (5) UUD 1945, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan HAM dijamin diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal ini, Hukum Acara Pidana merupakan salah satu wujud pengejawantahan mandat UUD 1945 tersebut yang tentunya bertujuan untuk menegakkan dan melindungi HAM. Hal ini sejalan dengan bagian Menimbang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) huruf (a) dan (c);
Bahwa merujuk pertimbangan (ratio decidendi) Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 (hal. 84-85), Mahkamah menjelaskan:
“Prinsip negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 (vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinya”. Mahkamah juga menyatakan bahwa “Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 28 huruf (I) ayat (5) UUD 1945). Hukum Acara Pidana merupakan implementasi dari penegakan dan perlindungan HAM sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Hal demikian sesuai pula dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of law”. Lebih lanjut Mahkamah menegaskan bahwa “Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusional berdasarkan UUD 1945 maka dalam proses peradilan pidana yang dialami seseorang haruslah mendapatkan kepastian hukum yang adil [....]”
Bahwa salah satu bentuk HAM yang dilindungi dalam hukum acara pidana adalah hak tersangka. Perlindungan terhadap hak-hak seorang Tersangka juga tercantum di dalam International Covenant on Civil and Political Rights pasal 14 ayat (3) huruf a yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menyatakan:
“[....] dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: a) untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dan dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya.”
Salah satu upaya KUHAP melindungi dan mewujudkan HAM ialah dengan menghadirkan inovasi Praperadilan yang sesungguhnya dibentuk sebagai bentuk terjemahan dari Habeas Corpus dalam sistem Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM dari ancaman kesewenang-wenangan otoritas, khususnya hak kemerdekaan. Lebih lanjut, Luhut M. P. Pangaribuan juga menyatakan bahwa lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang menyatakan bahwa di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Luhut M. P. Pangaribuan selanjutnya dalam buku “Hukum Acara Pidana” menyampaikan dalam sistem hukum Eropa Kontinental, fungsi lembaga praperadilan ini menyerupai fungsi Examinating Judge (Rechter Commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’Instruction di Perancis yakni mengawasi apakah sah atau tidak suatu upaya paksa;
Bahwa keberadaan lembaga praperadilan tersebut secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana kontrol dan pengawasan horizontal dalam kerangka diferensiasi fungsional KUHAP untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik. Melalui lembaga ini, penyidik dapat diawasi dalam tindakan sehingga tidak sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP. Hal ini semata-mata dilakukan guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang, termasuk dalam hal ini Pemohon I dan Pemohon II;
Menurut Andi Hamzah (1986), Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan bertujuan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;
Bahwa sebagaimana diketahui Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Bahwa yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP di antaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
Bahwa dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisir terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum;
Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut : Mengadili, Menyatakan : Mengabulkan Permohonan untuk sebagian : Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan; Bahwa berdasarkan Pasal 81 jo. 82 ayat (1) huruf d KUHAP, selama perkara a quo dapat diajukan sebelum dimulainya pemeriksaan terhadap pokok perkara a quo, yang lengkapnya yaitu: (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (d). dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan itu gugur.
Bahwa pada hakikatnya pranata Praperadilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian Kesatu KUHAP merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik). Dalam hal wewenang dilaksanakan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang tersebut dilakukan melalui pranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara (in casu PEMOHON);
Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka (in casu PEMOHON) adalah untuk menguji tindakan–tindakan penyidik itu apakah bersesuaian dengan norma/ketentuan dasar-mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah “kunci utama” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik) berupa upaya paksa, baik berupa pencegahan, penangkapan, penggeledahan, penyitaan maupun penahanan. Dengan kata lain, adanya “status tersangka” itu menjadi alasan hukum bagi aparat penegak hukum (in casu Penyelidik, Penyidik) untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka;
Bahwa pengujian keabsahan penetapan Tersangka adalah melalui pranata Praperadilan, karena penetapan sebagai Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukan upaya paksa terhadap seorang warga Negara, yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka” adalah Praperadilan;
Bahwa Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan : “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang : sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim Praperadilan telah membuat putusan terkait penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, antara lain: Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 04/Pid/Prap/2014/ PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain: “Menyatakan penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”; “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON”;
Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 36/Pid.Prap/ 2015/PN.JKT.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar putusan, antara lain: “Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014; Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;
Bahwa pranata Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU–XII/2014, tanggal 28 April 2015;
Dengan demikian, telah jelas dan tegas, lembaga praperadilan ini berwenang untuk melakukan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan sesuai dengan Pasal 77 huruf a dan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014;
III. ALASAN DIAJUKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
KRONOLOGI DAN FAKTA HUKUM
Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, warga Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, yaitu Sdr. Irwansyah, Sdr. Bakini, Sdr. Hanafia, Sdr. Fahmi, Sdr. Taufik, Sdr. Sopian, Sdr. Aidi dan Sdri. Suryati, melakukan pemanenan kelapa sawit di kebun milik pribadi mereka di Desa Sumber Jaya;
Bahwa Pemohon I berprofesi sebagai sopir, selain menjadi sopir truk pengangkut Tandan Buah Segar (TBS) sawit, Pemohon juga sebagai sopir pengangkut pupuk dan batu bara;
Bahwa Pemohon II berprofesi sebagai sopir, sopir cadangan dan pekerja serabutan yang terkadang ikut muat buah sawit;
Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 19.00 WIB, hasil panen buah sawit tersebut dilakukan pengangkutan buah sawit ke Truk dengan Merk Mitsubishi Canter warna kuning yang dikendarai oleh Pemohon I dengan Nomor Polisi BH 8346 AL dan Truk dengan merk Isuzu Giga berwarna Putih Pemohon II dengan nomor polisi BG 8498 KN;
Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 21.00 WIB, Pemohon I dan Pemohon II mengendarai mobil truk yang bermuatan buah kelapa sawit tersebut dari desa Sumber Jaya menuju Pabrik Kelapa Sawit (PKS) untuk dijual ke PT. Palma Gemilang Kencana (PGK) yang beralamat di Desa Simpang Tuan Kecamatan Mendahara Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi;
Bahwa jarak Truk yang dikendarai Pemohon I dan Pemohon II berjarak cukup jauh sekiranya 1 KM;
Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 21.30 WIB, saat di perjalanan tepatnya di Desa Niaso Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi, Mobil truk yang dikendarai oleh Pemohon I dipepet mobil pribadi yang dikendarai oleh anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi yang berjumlah 1 (satu) mobil dengan merk mobil Avanza warna hitam dan langsung memotong ke depan sehingga Pemohon I menghentikan truk yang ia bawa;
Bahwa setelah dipepet oleh anggota Polisi Polisi Ditreskrimum Polda Jambi, Pemohon I disuruh turun dari mobil yang dikemudikannya dan diberi pertanyaan oleh anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi tentang keberadaan truk yang dikendarai oleh Pemohon II. berselang kurang lebih 30 menit, muncullah mobil yang dikendarai Pemohon II dari belakang dan langsung diketahui oleh rombongan dari anggota polisi tersebut;
Bahwa pada hari Selasa, 21 November 2023, pukul 22.30 WIB, saat di perjalanan tepatnya di Desa Niaso Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi, Pemohon II kurang lebih dipepet 5 (lima) mobil jenis Avanza dan Innova dengan warna mobil hitam semuanya, yang berisikan anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi dan langsung memotong ke depan sehingga Pemohon II menghentikan truk yang ia bawa;
Bahwa Pemohon I langsung disuruh putar balik mengendarai truk nya menuju Markas Polda Jambi dengan dikawal oleh dua orang anggota polisi penyidik Ditreskrimum Polda Jambi yang duduk disampingnya;
Bahwa 5 (lima) mobil anggota polisi tersebut melakukan pengejaran dan mengeluarkan senjata api lalu melakukan penembakan ke atas sebagian meneriakkan “rampok-rampok” kepada Pemohon II, sehingga warga sekitar keluar untuk melihat situasi keramaian di lokasi tersebut;
Bahwa pada saat di lokasi penangkapan berdasarkan pengakuan Pemohon II, bahwa anggota Polisi yang berpakaian bebas dari Ditreskrimum Polda Jambi, diduga melakukan pemukulan terhadap Pemohon II tepat di samping pelipis mata sebelah kiri sebanyak 3 (tiga) kali, dan Pemohon II diteriaki “perampok” oleh anggota polisi tersebut serta mengeluarkan 2 (dua) tembakan ke atas dan diminta untuk tiarap, pada saat meringkuk untuk tiarap Pemohon II mendapat terjangan dari belakang sehingga langsung tersungkur tiarap;
Bahwa Selanjutnya Pemohon II langsung diborgol menggunakan borgol plastik tetapi terlepas sehingga setelah itu langsung diganti menggunakan borgol besi. Setelah itu Pemohon II langsung di masukan ke mobil avanza berwarna hitam yang dikendarai oleh anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi dan dibawa ke Markas Polda jambi dan sampai sekira pukul 23.30 WIB;
Bahwa pada Rabu, 22 November 2023, pukul 00.30 WIB, terhadap Pemohon I dan Pemohon II dilakukan pemeriksaan BAP di Markas Polda Jambi;
Bahwa Pada Kamis tanggal 23 November 2023 pukul 09.00 WIB. Sdri. Eka Pulandari selaku (Istri Pemohon I) mendapatkan Surat Perintah Penangkapan nomor: SP.Kap/165/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon I, Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga. Nomor : B/143/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi, atas nama Eka Pulandari dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama selaku Pemohon I, bahwa suaminya ditangkap oleh pihak anggota Kepolisian (POLDA Jambi);
Bahwa pada Kamis, 23 November 202, pukul 18.41 WIB, Sdri. Winda Safitri selaku (Istri Pemohon II) mendapatkan Surat Perintah Penangkapan Nomor: SP.Kap/166/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II, Surat Pemberitahuan Penangkapan kepada keluarga. Nomor : B/144/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum, atas nama Winda Safitri dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/126/XI/RES.1.8/2023/Ditreskrimum atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II yang menginformasikan bahwa suaminya ditangkap oleh pihak Kepolisian (POLDA Jambi);
TENTANG HUKUM
DASAR HUKUM PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PARA PEMOHON
Bahwa Termohon menetapkan Tersangka terhadap Pemohon I dan Pemohon II atas dugaan tindak pidana pencurian dengan pemberatan dan atau penadahan dan atau turut serta melakukan tindak pidana dan atau membantu melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 dan/atau Pasal 480 KUHPidana dan/atau Pasal 55 KUHPidana dan/atau Pasal 56 KUHPidana; Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/207/XI/RES.1.8./2023/Ditreskrimum Polda Jambi, tanggal 22 November 2023;
TENTANG TIDAK SAH DAN BERDASAR HUKUM PENANGKAPAN TERHADAP PARA PEMOHON Bahwa berdasarkan uraian kronologis terdapat fakta bahwa Pemohon I dan Pemohon II ditangkap oleh Termohon tidak berdasarkan Legalitas Formil yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pemohon I dan Pemohon II ditangkap di jalanan tanpa dijelaskan alasan penangkapan dan ditunjukkan surat perintah penangkapan dan Pemohon II diteriaki sebagai “Perampok” oleh salah satu anggota Polisi Ditreskrimum Polda Jambi; TENTANG TIDAK SAH DAN TIDAK BERDASAR HUKUM PENETAPAN TERSANGKA TERHADAP PARA PEMOHON
Penetapan Status Tersangka Terhadap PEMOHON Yang Tidak Didasarkan Pada Bukti Permulaan Yang Kuat:
Bahwa Termohon telah mengeluarkan penetapan terhadap Pemohon I dan Pemohon II sebagai Tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/207/XI/RES.1.8./2023/Ditreskrimum tanggal 22 November 2023 dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/165/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi tanggal 22 November 2023 atas nama Tumiran bin Samsuri dan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/166/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi tanggal 22 November 2023 atas nama Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon II; Frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”,dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, maka norma Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
Bahwa dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015, menyatakan : “Oleh karena itu, dengan berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia)...”
“Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang dengan minimum dua alat bukti yang telah ditemukan oleh penyidik. Dengan demikian, berdasarkan alasan tersebut di atas, seorang penyidik di dalam menentukan "bukti permulaan", "bukti permulaan yang cukup", dan "bukti yang cukup" sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dapat dihindari adanya tindakan sewenang-wenang, terlebih lagi di dalam menentukan bukti permulaan yang cukup selalu dipergunakan untuk pintu masuk bagi seorang penyidik di dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka...”
Bahwa berdasarkan pertimbangan maupun putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU – XII/2014 tanggal 28 April 2015 tersebut diatas, penetapan tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, untuk itu PEMOHON akan menguraikan apakah penetapan tersangka terhadap diri PEMOHON telah didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) bukti permulaan yang cukup sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP baik secara kuantitas maupun kualitas bukti-bukti;
Bahwa pada prinsipnya pemeriksaan terhadap seorang calon tersangka serta jumlah minimal 2 (dua) alat bukti dalam menetapkan seseorang selaku Tersangka, tidak hanya bersifat legalistik formil namun juga harus mengandung substansi/kebenaran materiil adanya hubungan atau relevansi bukti dengan Tersangka (kualitas bukti).
Apakah secara jumlah bukti “kuantitas bukti” dan “kualitas bukti” penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON telah terpenuhi?
Bahwa agar dapat dilakukan penetapan tersangka pencurian dan penadahan bagi PARA PEMOHON, maka seharusnya penyidik / TERMOHON terlebih dahulu membuktikan tentang siapakah pemilik tandan sawit yang diangkut oleh PARA PEMOHON, apakah pelapor atau pihak yang menggunakan memakai jasa angkutan, hal mana tidak pernah dilakukan oleh TERMOHON sebelum penetapan tersangka . Bahwa sebelum penetapan tersangka penyidik tidak pernah memeriksa pihak-pihak yang merasa memilik tandan sawit terlebih dahulu sehingga sangat jelas dan sangat terang benderang bahwasanya penetapan tersangka tidak dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan bukti permulaan yang kuat sebagaimana putusan mahkamah konstitusi sebagaimana di uraikan di atas. Bahwa pemeriksaan bukti terlebih dahulu secara kuantitas ataupun jumlah alat bukti yang dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup, tidak semata-mata hanya berupa legalitas formil bahwa minimal jumlah 2 (dua) alat bukti telah terpenuhi, karena alat bukti dimaksud haruslah memiliki kualitas pembuktian yang memiliki hubungan langsung ataupun tidak langsung antara penetapan tersangka dengan tindak pidana yang di duga dilakukannya. Dengan kata lain, penyidik Kepolisian Republik Indonesia, secara hukum, seharusnya menguraikan keterkaitan bukti-bukti yang dijadikan dasar dalam suatu perkara dengan penetapan Tersangka. Terkait perkara ini, dapat kami jelaskan bahwa berdasarkan keseluruhan bukti-bukti yang dijadikan sebagai dasar penetapan Tersangka tidak memiliki hubungan/relevansi dengan Pemohon Peradilan (quod non); TENTANG TIDAK SAHNYA PENAHANAN PARA PEMOHON
Bahwa Pemohon I dan Pemohon II telah dilakukan Penahanan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/126/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi a.n. Sapriadi bin Saipul selaku Pemohon I dan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP.Han/127/XI/Res.1.8/2023/Ditreskrimum Polda Jambi a.n. Tumiran bin Samsuri selaku Pemohon II;
IV. PENUTUP PENETAPAN SEBAGAI TERSANGKA, PENANGKAPAN, DAN PENAHANAN PARA PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN TERMOHON DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak asasi manusia (HAM) sehingga asas hukum presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negara pun telah menuangkan itu pada Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan HAM tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan; “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”. Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap para Pemohon dapat dinyatakan sebagai Keputusan yang tidak sah dan batal demi hukum. V. PETITUM Berdasar pada fakta-fakta dan uraian hukum di atas, Pemohon memohon kepada Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara praperadilan a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut: Menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan para Pemohon untuk seluruhnya; Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara a quo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan. Apabila Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Jambi Kelas IA yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Hormat Kami, TIM ADVOKASI SOLIDARITAS KUMPEH
Yudi Kurnia.,S.H.,M.H.
Janses E Sihaloho.,S.H., MH.
Ahmad Azhari.,S.H.I.
Feri Apriansyah.,S.H.
Riki Hermawan.,S.H.
Yosep Nurhidayat.,S.H.
Linda Dewi Rahayu.,S.H.,M.H.
Caesar Sophan Aditya.,S.H. M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 159) mengatakan bahwa kalau tidak ada surat tugas penangkapan, tersangka berhak menolak untuk mematuhi perintah penangkapan, karena surat tugas itu merupakan syarat formal yang bersifat “imperatif”. Juga agar jangan terjadi penangkapan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
|
||||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |